"Dengan kondisi saya yang seperti ini, mereka meninggalkan saya karena malu. Saya hanya berharap punya kehidupan yang layak, supaya mereka tidak lagi malu… dan mau pulang ke rumah," ucap Pak Ape lirih, menahan getar di suaranya.

Hari itu, matahari membakar tanah yang gersang di samping tembok sekolah. Di atas selembar karung lusuh, tersusun mainan plastik sederhana yang bukan miliknya. Semua hanya titipan tetangga, dengan keuntungan beberapa ribu rupiah setiap kali ada yang membeli. Debu beterbangan, plastik berderik, seakan ikut menyanyikan sepi yang melingkupi hidupnya.

Dulu, Pak Ape adalah lelaki yang tegap, bekerja keras, dan menjadi sandaran keluarga. Sampai suatu hari, panas tinggi menyerang dan merenggut kemampuannya berdiri. Sejak itu, ia hanya bisa berjalan dengan bertumpu pada lutut. Bersama tubuhnya yang rapuh, runtuh pula kehidupannya.

Istri yang dulu menemaninya pergi meninggalkan rumah. Anak semata wayangnya pun menjauh, bukan karena benci, melainkan malu, malu punya ayah yang kini tak lagi mampu memberi kehidupan layak.

Kini, hidup Pak Ape bertumpu pada mainan-mainan murah itu. Setiap pagi ia mengayuh harapan, berkeliling kampung atau duduk di dekat sekolah, menunggu ada anak yang merengek meminta mainan. Namun tak setiap hari pembeli datang. Ada waktu dari pagi hingga sore, ia tak menjual satu pun.

Kalau begitu, ia hanya bisa berharap belas kasih tetangga yang terkadang menyodorkan sebungkus nasi. Jika tidak, ia berpuasa, bukan karena ibadah, tapi karena memang tak ada makanan.

"Saya sudah biasa nggak makan… yang penting jangan sakit," ucapnya menunduk.

Rumahnya pun tak lagi bisa disebut rumah. Atap bocor, dinding retak dimakan usia, dan tiang penyangga hanyalah sebatang bambu tua yang ringkih. Malam-malam dilalui dengan rasa waswas, takut rumahnya benar-benar runtuh. Celah-celah di dinding membuat angin malam menusuk tulang, dan tidur hanya bisa ditemani doa, semoga esok masih ada kesempatan untuk bertahan.

"Saya cuma ingin rumah yang aman, hidup yang layak, dan nggak lagi susah makan… biar anak saya nggak malu, dan mau pulang memeluk saya lagi," katanya, menahan air mata.

Pak Ape bukan hanya butuh uang untuk sekadar bertahan hari ini. Ia butuh kesempatan memulai hidup baru, memperbaiki rumah yang rapuh, menjaga kesehatannya, dan mengembalikan martabat di mata anak yang ia rindukan setiap detik.

Insan Baik, kita bisa jadi alasan Pak Ape kembali tersenyum.

Setiap rupiah yang kita donasikan adalah langkah nyata untuk memberinya rumah yang aman, hidup yang layak, dan kesempatan memeluk kembali anak yang ia tunggu dengan penuh cinta.

Disclaimer: Donasi yang terkumpul akan digunakan untuk perbaikan tempat tinggal, kebutuhan sandang dan pangan, serta program sosial kemanusiaan lain di bawah naungan Amal Baik Insani.