Pak Halis bercerita pelan, di balik tatapan matanya yang lelah: hujan sering membuat hatinya resah. “Ibu di rumah sering cemas kalau petir datang. Rumah kami sudah ringkih, bocor di mana-mana. Saya maunya cepat pulang biar bisa jagain beliau. Tapi kalau pulang cepat, seringnya malah nggak dapat apa-apa buat dibawa pulang…”

Tubuh Pak Halis memang tak sama seperti kebanyakan orang. Sejak lahir, tangan dan kakinya tidak tumbuh dengan normal, membuatnya harus mengandalkan tongkat untuk bergerak. Walau raganya rapuh, semangatnya tak pernah padam. Setiap hari ia menapaki jalanan yang jauh, berharap ada yang sudi mempercayakan payung rusak kepadanya. Di musim hujan seperti sekarang, jasa tambal payung inilah yang jadi tumpuan hidup Pak Halis.

Nyatanya, tak gampang bagi Pak Halis untuk menarik pelanggan, meski tubuhnya sudah ia seret ke sana kemari. Bayaran untuk sekali tambal payung hanya lima ribu rupiah, sangat kecil untuk menutup perut yang sering keroncongan. Sering kali ia terpaksa merebahkan badan di pinggir jalan, menahan lapar sambil mengumpulkan tenaga.

Tapi seberat apa pun rintangannya, Pak Halis tak pernah berhenti berkeliling, karena di rumah ada satu alasan terbesarnya: Ibunda tercinta. Sang Ibu kini sudah sangat renta, bahkan lumpuh total, tak mampu mandi atau makan tanpa bantuan. Semua diurus Pak Halis seorang diri. Ia bahkan memilih tetap sendiri, rela menunda mimpi berumah tangga, asalkan bisa merawat Ibu hingga akhir hayat.

Ada sesal yang sering mengganggu hati Pak Halis — beliau merasa belum mampu membahagiakan Ibunda seperti yang diinginkannya. Hingga kini, keduanya masih berteduh di rumah bambu yang rapuh dan nyaris roboh. Harapan Pak Halis sederhana: bisa tetap mencari nafkah tanpa harus jauh-jauh pergi, supaya Ibunda tak ditinggal sendirian di rumah yang ringkih itu.

✨ Teman Kebaikan, maukah kita jadi bagian dari harapan Pak Halis?

💛 Yuk, bantu beliau dan Ibunda tercinta punya hidup yang lebih layak dan tenang.

Kalau mau versi lebih pendek atau lebih ajakan, bilang aja!